Aktor-Aktor Pro Demokrasi :
Kegagalan Demokrasi Oleh Elit di
Indonesia
Oleh :
Muslim Kosashie Takeda[1]
Abstrak
Sejak Pemilu 1999, secara formal
Indonesia telah menempuh rute demokrasi dalam perjalanan politiknya sebagai
bangsa menuju masa depan dimana, semua hak asasi dari semua dimajukan dan
dilindungi. Jika rute ini bisa ditempuh dengan sukses, Indonesia akan menjadi
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India, negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi jika pilihan untuk menempuh
demokrasi ini gagal, maka kegagalannya akan menjadi kegagalan keempat dalam
pengalaman sejarahnya sejak 1945.[2]
Seperti diketahui, kegagalan pertama terjadi pada 1959 ketika demokrasi liberal
diganti menjadi demokrasi terpimpin. Kegagalan kedua terjadi pada 1965/66
dengan dimusnahkannya gerakan kiri dan demokrasi kerakyatannya. Dan kegagalan
ketiga adalah pupusnya upaya-upaya kelas menengah liberal pada awal 1970an
untuk meliberalisasi politik Orde Baru yang diikuti oleh pelembagaan sistem
politik otoritarian hingga 1998.[3]
Pengalaman
selama lima tahun terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata
demokrasi liberal pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah
kritis yang dihadapi bangsa, bahkan cenderung mengidap potensi-potensi
kegagalan: Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan
elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru
tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya
menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk
tidak menyebutnya oligarki liberal.
Kata Kunci : Kegagalan Demokrasi.dan Aktor Pro Demokrasi.
Since the 1999
elections, Indonesia has formally democratic route
in his political journey
as a nation towards a future where,
all rights of
all promoted and
protected.
If this route can be reached successfully, Indonesia will become the third largest democracy in the world after the U.S. and India, the largest Muslim country in the world. But if the choice to pursue democracy fails, the failure will be the failure of the fourth in the history of experience since 1945. As is known, the first failure occurred in 1959 when democracy replaced a liberal democracy. The second failure occurred in 1965/66 with his destroyed left movement and its popular democracy. And the third is the failure of his efforts dashed liberal middle classes in the early 1970s to liberalize the New Order politics followed by the institutionalization of the authoritarian political system until 1998.
If this route can be reached successfully, Indonesia will become the third largest democracy in the world after the U.S. and India, the largest Muslim country in the world. But if the choice to pursue democracy fails, the failure will be the failure of the fourth in the history of experience since 1945. As is known, the first failure occurred in 1959 when democracy replaced a liberal democracy. The second failure occurred in 1965/66 with his destroyed left movement and its popular democracy. And the third is the failure of his efforts dashed liberal middle classes in the early 1970s to liberalize the New Order politics followed by the institutionalization of the authoritarian political system until 1998.
Keyword : failure of democracy .and Actor Pro Democracy.
Latar Belakang
Berbicara mengenai demokrasi sendiri
memang tak kunjung habis untuk dibahas. Mulai dari yang pro maupun yang kontra.
Ada yang
berpendapat bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah on the track dan tinggal
menyempurnakan. Ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa demokrasi di
Indonesia telah gagal karena tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan
keadilan-keadilan. Secara
definisi demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.[4] Maksud
dari mewujudkan kedaulatan rakyat sendiri yaitu melindungi secara
konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Karena, dalam
demokrasi keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung)
diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah. Namun, sebenarnya demokrasi tidak sesederhana
itu. Demokrasi harus dipahami dari dua dimensi,yaitu:dimensi normatif dan
dimensi empirik.Dimensi pertama mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya
secara idiil dari demokrasi. “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat,” kata
Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, benarkah demikian? Kenyataannya, selama 32
tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, jauh panggang dari api. Rakyat hanya
dijadikan pemanis dalam kehidupan politik agar segala sesuatunya nampak indah.[5] Sementara
itu, dimensi empirik demokrasi memperlihatkan kepada kita apa yang sesungguhnya
terjadi dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif-idiil
tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedaulatan rakyat diwujudkan
dengan pemilihan umum yang bebas dan persaingan antara partai politik berjalan
secara wajar. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pemberian peluang bagi semua
warga negara untuk menduduki jabatab politik. Kedaulatan rakyat memberi
kesempatan yang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berbicara, memberikan
penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan oleh mereka yang berkuasa
atau pemerintah. Kedaulatan rakyat juga diwujudkan dalam kehidupan di mana
rakyat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Mereka boleh berbicara
tentang apa saja, bukannya dibungkam. Mereka dapat menikmati media massa yang
bebas menulis dan menyiarkan apa saja sepanjang tidak menghina, memfitnah, dan
mengadu domba masyarakat. Dan rakyat dapat setiap waktu berkumpul kemudian
mendirikan organisasi apapun, apakah itu organisasi sosial, ekonomi, keagamaan,
atau politik. Akhirnya, kedaulatan rakyat diwujudkan dalamkehidupan di mana
rakyat bebas dari rasa takut.
Indikasi Kegagalan Penerapan Demokrasi di Indonesia
Sejak
Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus
1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945
(yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) menganut paham atau
ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat
dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan
demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham
Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).[6]
Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat
disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang
duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa
sebahagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara
langsung di negara-negara Eropah Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya
melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa
sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang
di negara-negara Eropah Barat dan Amerika Serikat.
Tambahan
lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran
demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.Didalam praktek
kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata
paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa
model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.Sejalan
dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan
model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang
diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan
(eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante
pada bulan Juni-Juli 1959.Guna mengatasi konflik yang berpotensi
mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali
UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim
sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang
mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.Namun belum berlangsung
lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya. Demokrasi Terpimpin,
kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang
berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya
Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.[7]
Presiden
Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan
model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba),
untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai
dengan ideologi negara Pancasila.Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan
relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang
pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun
ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan
Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang
tidak stabil dan krisis disegala aspeknya.Sejak runtuhnya Orde Baru yang
bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki
suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi
yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara
yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya
UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan
tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru. Amandemen UUD 1945, terutama yang
berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek
pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya,
dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi
yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde
Baru.Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini
dinamakan saja sebagai Demokrasi Reformasi, karena memang belum ada kesepakatan
mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini,
nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan
kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang
utama, yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga
legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang
memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.Apalagi sekarang
diera kemajuan sains dan teknologi Indonesia nampak tengah dilanda berbagai
masalah yang begitu kompleks. Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan
masyarakat yang bebas dan sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah
kenyataannya bertolak belakang akan apa yang diharapkan sebelumnya.
Berikut ini adalah beberapa fenomena
kegagalan demokrasi di Indonesia.[8]
Pertama, Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan
kebijakannya. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat
posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan.Namun, di
parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung
pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam
menentukan banyak kebijakan presiden. Dalam memberhentikan menteri misalnya,
presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus”
menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin
memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah
kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
Kedua, Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru
di tengah kebebasan demokrasi. Tingkat
kesejahteraan menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya
kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini aneh mengingat sebenarnya tujuan
dari politik adalah kesejahteraan. Demokrasi atau sistem politik lainnya
hanyalah sebuah alat. Begitu pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi,
hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan.
Ketiga, Tidak berjalannya fungsi partai politik.
Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi rakyat,
pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana pendidikan politik
masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya tidak berjalan.Partai politik
lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi rakyat.Fungsi partai politik
sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan
mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Partai
politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat
partai mengambil suara dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi,
program partai, atau kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama
sekali tidak mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
Keempat, Ketidakstabilan kepemimpinan nasional.
Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus
Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir
tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan
politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah
mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka.
Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan
harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam
merealisasikan harapan dan tujuan nasional.Hal ini diperburuk dengan sistem
pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan
kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang
berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak
berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran,
memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang
tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.
Kelima, Birokrasi yang politis, KKN, dan berbelit-belit.
Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri dan wadah
Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar. Ini berbahaya
karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika birokrasi tidak
netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan, maka
dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya
menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Aknibatnya kebijakan
tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat memicu
reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian kepemimpinan dan
tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas pemerintahan. Maka
seharusnya birokrasi itu netral.Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh
kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan
ketidak percayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu
berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi
karena adanya kapitalisasi birokrasi.Hal di atas mendorong pada birokrasi yang
tidak rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb.
Prinsip yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
Keenam, Banyaknya ancaman separatisme. Misalnya
Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari dianaktirikannya daerah-daerah
tersebut semasa orde baru, yang tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam
“mengurus anak”. Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi
lemah, mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi
kepentingan asing.
Konsep
Demokrasi Seperti yang kita ketahui bahwa demokrasi menempati posisi vital
dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan
konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari
rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Prinsip
semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar
ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang
lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri
anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi
rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya,
setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus
ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara
dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut. Lalu kalau kita melihat bentuk
demokrasi dalam struktur pemerintahan kita dari level negara, provinsi,
kabupaten, hingga kecamatan hampir dapat dipastikan di level ini hanya proses
pembuatan kebijakan sementara kalau kita mencari demokrasi yang berupa ciri
khas yang dapat mewakili bahwa negara kita mempunyai diri demokrasi tersendiri
itu dapat dilihat di level desa. Bagaimana seperti ditulis almarhum Moh. Hatta
bahwa,”Di desa-desa sistem yang demokrasi masih kuat dan hidup sehat sebagai
bagian adat istiadat yang hakiki.” Dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal
yaitu setiap orang yang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan
bersama. Struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus
berdasarkan demokrasi asli yang berlaku di desa. Gambaran dari tulisan almarhum
ini tidak lain dari pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh
musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan
keputusannya tersebut. (Prijono Tjiptoherijanto dan Yomiko M. Prijono, 1983 hal
17-19). Dari gambaran di atas, kami rasa hal ini pula yang menginspirasi
demokrasi pancasila yang selalu menjadi Kiblat negara kita dalam menapaki
kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu ditelaah atau dikaji secara lebih
dalam lagi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan
negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur
Pancasila yang tidak mungkin terlepas dari rasa kekeluargaan. Akan tetapi yang
menjadi pandangan kita sekarang. Mengapa negara ini seperti mengalami sebuah
kesulitan besar dalam melahirkan demokrasi. Banyak para ahli berpendapat bahwa
demokrasi pancasila itu merupakan salah satu demokrasi yang mampu menjawab
tantangan jaman karena semua kehidupan berkaitan erat dengan nilai luhur
Pancasila. Dalam hal ini kita ambil saja salah satu ahli Nasional Prof. Dardji
Darmodihardjo, S.H. beliau mempunyai Pandangan bahwa demokrasi Pancasila adalah
paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang terwujudnya seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD
1945. lain hal lagi dengan Prof. dr. Drs. Notonegoro,S.H. mengatakan demokrasi
pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan Yang Maha
Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mempersatukan
Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat.
Salah
satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan
dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga
jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.Ketiga
jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan
menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai
aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui
proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain
pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh
sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum.
Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak
pilih).Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,
tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau
anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung
presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun
perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun
seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa
hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Peran Aktor Pro Demokrasi (Antara Harapan Dan Tantangan)
Kekuatan reformasi di Indonesia
sesungguhnya mencita-citakan sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan
dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan
sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks
and balances”. Dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh
orang kuat serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan
kemampuan terkadang sangat biasa. Demokrasi, diibaratkannya seperti pasar
dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar
untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan diambil bukanlah
terbaik. Pemilihan demokratis menjadi keharusan bertujuan untuk menyediakan
kesempatan bagi warga negara untuk menggantikan politisi di bawah performa
dengan alternatif lain sesuai pilihan warganegara.
Kekuatan reformasi mendorong pengembangan demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian masyarakat madani sangat dibutuhkan untuk merealisasikan kedaulatan massa rakyat, bukan sekedar retorik in abstracto sebagaimana dikatakan seorang akademisi politik terkenal Gaetano Mosca. Secara umum peran Parpol itu bagaikan “intermediate-structure”, sebagai perantara antara masyarakat politik dan negara. Karena itu, jika kader Parpol terpilih sebagai anggota legislatif, maka seharusnya mereka memperjuangkan agenda-agenda kepentingan atau harapan konstituen/pemilihnya.[9] Proses pengangkatan pemimpin Parpol dalam perspektif demokrasi harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda. Pemimpin Parpol harus memberi pertanggungjawaban dalam pemilihan demokratis, dan jika mereka kalah dalam pemilihan mereka akan kehilangan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara oleh sistem bekerja secara rasional, nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok ada di dalamnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat berdaulat meletakkan kedaulatan dalam bentuk Negara. Demokrasi menjadikan negara sebagai kumpulan daulat rakyat dalam realitasnya terwujud bagian-bagian atau organ-organ kelembagaan Negara. Untuk itu, politik kepartaian harus didorong menjadi lebih kompetitif, ditandai jarak ideologi di antara Parpol dalam kehidupan kepartaian. Kompetisi antar Parpol harus konsisten di berbagai arena politik baik Pemilu maupun pemerintahan sehingga terdapat tautan elektoral (hubungan pemilihan) di antara Parpol sebelum Pemilu dan Pasca Pemilu. Kaitan antara ideologi, pola koalisi, pola oposisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi menjadi lebih bermakna. Sebagai pilar demokrasi, Parpol haruslah terlebih dahulu menata dirinya berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi antara lain partisipasi, kesetaraan (non diskriminatif), keterbukaan (transparansi), pertanggung jawaban publik (akuntabilitas publik), supremasi hukum (taat hukum), efisien dan effektif, dll. Parpol dapat berperan sebagai pilar demokrasi bagi kehidupan masyarakat madani, pemerintahan dan juga dunia usaha manakala tata pengelolaan Parpol itu sendiri sungguh-sungguh berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud.
UUD
1945 telah menjamin penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk
mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat,
adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dalam kehidupan demokarasi, peran,
fungsi dan tanggungjawab Parpol dituntut berkembang secara konstitusional.
Parpol sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan
kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat
pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga
dengan hak penuh. Seluruh harta bumi dan kekayaan alam negara Indonesia mutlak
milik pemegang kekuasaan dimaksud, yakni rakyat. Rakyat harus menyadari
hak-haknya mengontrol bagi kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh
pemegang kekuasaan negara Indonesia.Dasar filosofis dan konstitusional prinsip
kedaulatan rakyat ini sesungguhnya telah tertuang di dalam Pembukaan dan Batang
Tubuh UUD 1945. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Negara
berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan. Setiap warganegara Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau
pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. UUD 1945 mengharuskan
sistem negara terbentuk berdasarkan “kedaulatan rakyat”. UUD 1945 mewajibkan
pemerintah dan penyelenggara negara untuk menjamin rakyat menyalurkan aspirasi
politik kepada lembaga-lembaga Negara, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR
dan DPRD). Parpol harus berfungsi untuk menyalurkan aspirasi politik sebagai
manifestasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, Parpol dalam
hubungannya dengan Negara (khususnya legislatif dan eksekutif) tidak boleh
hanya mewakili konstituen atau anggota semata, tetapi harus berfungsi sebagai
sarana aspirasi politik rakyat keseluruhan. Untuk menegakkan prinsip kedaulatan
rakyat dan meningkatkan kehidupan demokrasi, Parpol perlu melakukan pendidikan
politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik
dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik rakyat melalui Parpol diharapkan
dapat membangun karakter bangsa merupakan watak atau keperibadian bangsa
Indonesia terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai
kebangsaan lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara kesadaran
kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan
keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Namun, realitas obyektif
menunjukkan bahwa kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita
demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak
mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan
signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam
pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat
rendah. Hal ini bisa menjadi bencana bagi demokrasi mengingat Parpol berfungsi
sesungguhnya sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka.
Salah satu karya akademis menunjukkan ketidakpercayaan atas peran dan fungsi Parpol di Indonesia dapat ditemukan pada Mahrus Irsyam dan Lili Romli (Eds), Menggugat Partai Politik (Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia, 2003). Di dalam karya ini terdapat tulisan Tim dengan pertanyaan utama: sudah sampai sejauh manakah relevansi antara teori dan konsep tentang Parpol dan system kepartaian dengan realitas system kepartaian beserta Parpolnya di Indonesia selama ini? Pertanyaan ini diajukan sekitar tahun 2003, suatu situasi Indonesia baru memasuki era demokratisasi dari otoriterianisme. Para penulis karya ini antara lain Arbi Sanit, Mahrus Irsyam, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sahrul Hidayat dan Ibnu Hamad.[10]
Di dalam karya ini, Lili Romli mengajukan judul tulisan: “Potret Buram Partai Politik di Indonesia”. Menurut Lili, Parpol ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri, tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal , ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dll. Semuanya itu, lanjut Lili, tampak tidak dihiraukan oleh parpol. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, hal itu hanya tinggal janji saja tanpa buki nyata. Maka tidak heran apabila rakyat kemudian pesimis dan kecewa terhadap Parpol. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “obyek” pengatasnamaan rakyat. Padahal semuanya “pepesan kosong”, yang ada adalah kepentingan golongan atau Parpol, dari kekuasaan, jabatan sampai pada uang. Terdapat kekecawaan rakyat terhadap Parpol. Untuk menjustifikasi penilaian kritis di atas`, Lili lalu menyajikan hasil riset dikeluarkan Forum Keadilan (No. 52, 14 April 2002). Penilaian kritis Lili atas keberadaan Parpol dalam awal era reformasi ini juga diperkuat dengan hasil riset Kompas (lihat Tabel 2.) menunjukkan bahwa Parpol melalui kader di DPR lebih mengutamakan kepentingan peribadi dan Parpol ketimbang kepentingan rakyat. Rata-rata lebih 55 % responden berpendapat, DPR lebih berkomitmen terhadap kepentingan peribadi dan Parpol, bukan kepentingan rakyat. Dengan perkataan lain, kepentingan peribadi dan kepentingan Parpol diutamakan sedangkan kepentingan rakyat diabaikan.[11] Di samping hasil riset Kompas ini, Lili juga menunjukkan contoh nyata, yakni kegagalan membentuk Pansus Buloggate II, di mana sebagian besar wakil rakyat menolak dan abstain, suatu sikap yang menyakiti hati rakyat. Intinya, Lili menilai, Parpol tumbuh dalam era reformasi ini belum melaksanakan fungsi dengan baik.
Sebagaimana digelombangkan kaum
kelas menengah perkotaan dan mahasiswa tergabung dalam kekuatan reformasi,
dalam era reformasi Parpol harus berperanan sebagai pelaku dan pejuang
cita-cita demokrasi Tetapi, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di
kehidupan sehari-hari. Penilaian semacam ini dapat dipertegas dengan hasil
Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010 dengan 781 responden 17 tahun
keatas di 57 kota Indonesia. Terdapat 58,9 % responden tidak puas tentang
Parpol memperjuangkan demokratisasi, dan hanya 35,1 % puas. Jajak Pendapat juga
mengungkapkan, lebih dari separoh (54 %) responden mengamati bahwa selama ini
tidak ada aktivitas organisasi berarti dari Parpol-parpol di wilayah mereka.
Sebagian besar responden tdiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas
Parpol seperti dalam hal perekruitan (penempatan) anggota, pendidikan politik,
penggalangan dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis
berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan
kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari.
Gerakan reformasi pro-demokrasi sama sekali belum terealisir dan tidak pernah disinggung oleh kaum politisi Parpol. Gerakan demokrasi hanya dijadikan “lipstik” untuk meraih dukungan politik. Para aktor pro-demokrasi masih terus berjuang dari posisi „terpinggirkan“ (marginal). Kalangan aktor pro-demokrasi dan tokoh organisasi non pemerintah (Ornop) mempercayai bahwa perjuangan demokrasi harus melalui Parpol ternyata juga gagal total. Mereka baru menyadari bahwa politik kepartaian hanya menggunakan massa rakyat untuk mendapatkan dukungan bagi kepentingan kekuasaan sesaat dengan mengandalkan pola hubungan „politik uang“ atau „transaksional“ dan juga politik „pencitraan“, sebuah pola pernah mereka kritik dan tolak sebelumnya. Sebagian aktivis pro-demokrasi baik di Ornop maupun Kampus, tatkala berada di dalam Parpol seakan telah melupakan cita-cita demokrasi dan disibukkan pada pertikaian internal Parpol, mencari sumber pendanaan ilegal serta jabatan di permerintahan.
Kalangan pro demokrasi sungguh-sungguh mempercayai bahwa untuk pencapaian kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, demokrasi sebagai suatu metode tepat dan merupakan keharusan atau keniscayaan. Kepercayaan ini telah mendorong kekuatan reformasi pro demokrasi sejak tahun 70-an bergerak dan berjuang menentang struktur kekuasaan otoriter ciptaan rezim Soeharto (Orde Baru). Keberhasilan kekuatan reformasi meruntuhkan kekuatan Orde Baru memberi peluang untuk merealisasikan kepercayaan akan demokrasi sebagai metode, hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah Parpol dan kualitas Pemilu lebih jujur dan adil (jurdil). Namun, Parpol sebagai aktor atau pilar demokrasi tidak merupakan realitas obyektif, bahkan sebaliknya menjadi kekuatan anti demokrasi dan pro korupsi sehingga bertentangan dengan fungsi Parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Acapkali Parpol dinilai sebagai sarana bukan penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat, melainkan aspirasi atau kepentingan politik elite dan kelompok Parpol dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. Parpol juga dinilai tidak melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa sadar, pendidikan politik berlangsung justru mendorong kader-kader berperilaku korupsi baik di lembaga legislatif maupun ekekutif sebagai perilaku anti demokrasi dan pro korupsi.
Gerakan reformasi pro-demokrasi sama sekali belum terealisir dan tidak pernah disinggung oleh kaum politisi Parpol. Gerakan demokrasi hanya dijadikan “lipstik” untuk meraih dukungan politik. Para aktor pro-demokrasi masih terus berjuang dari posisi „terpinggirkan“ (marginal). Kalangan aktor pro-demokrasi dan tokoh organisasi non pemerintah (Ornop) mempercayai bahwa perjuangan demokrasi harus melalui Parpol ternyata juga gagal total. Mereka baru menyadari bahwa politik kepartaian hanya menggunakan massa rakyat untuk mendapatkan dukungan bagi kepentingan kekuasaan sesaat dengan mengandalkan pola hubungan „politik uang“ atau „transaksional“ dan juga politik „pencitraan“, sebuah pola pernah mereka kritik dan tolak sebelumnya. Sebagian aktivis pro-demokrasi baik di Ornop maupun Kampus, tatkala berada di dalam Parpol seakan telah melupakan cita-cita demokrasi dan disibukkan pada pertikaian internal Parpol, mencari sumber pendanaan ilegal serta jabatan di permerintahan.
Kalangan pro demokrasi sungguh-sungguh mempercayai bahwa untuk pencapaian kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, demokrasi sebagai suatu metode tepat dan merupakan keharusan atau keniscayaan. Kepercayaan ini telah mendorong kekuatan reformasi pro demokrasi sejak tahun 70-an bergerak dan berjuang menentang struktur kekuasaan otoriter ciptaan rezim Soeharto (Orde Baru). Keberhasilan kekuatan reformasi meruntuhkan kekuatan Orde Baru memberi peluang untuk merealisasikan kepercayaan akan demokrasi sebagai metode, hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah Parpol dan kualitas Pemilu lebih jujur dan adil (jurdil). Namun, Parpol sebagai aktor atau pilar demokrasi tidak merupakan realitas obyektif, bahkan sebaliknya menjadi kekuatan anti demokrasi dan pro korupsi sehingga bertentangan dengan fungsi Parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Acapkali Parpol dinilai sebagai sarana bukan penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat, melainkan aspirasi atau kepentingan politik elite dan kelompok Parpol dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. Parpol juga dinilai tidak melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa sadar, pendidikan politik berlangsung justru mendorong kader-kader berperilaku korupsi baik di lembaga legislatif maupun ekekutif sebagai perilaku anti demokrasi dan pro korupsi.
Penutup
Seperti
yang dipaparkan dalam penjelasan diatas bahwa Pengalaman selama beberapa tahun
terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata demokrasi liberal
pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah kritis yang
dihadapi bangsa ini, malah bahkan cenderung mengidap potensi-potensi kegagalan
yang mana seperti yang kita dapat lihat sekarang :
1.
Institusi-institusi demokrasi telah
dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi
yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi
liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk
demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki liberal;
2.
Korupsi terus tidak tertanggulangi,
bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi
berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal yang pada gilirannya
berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan sentralistis yang berada di
Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik.
3.
Depolitisasi masyarakat sipil masih
terus berlangsung dengan menguatnya suasana anti-politik yang terus meluas.
Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan partisipasi tampaknya tidak
berbanding lurus dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan
rakyat banyak menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi.
Dari sekian keganjalan yang
dijelaskan pada poin tersebut dirasa Kegagalan demokrasi tampaknya juga
disebabkan karena faktor lain, yakni diantaranya karena para aktor pro-demokrasi tidak cukup punya akses,
kemauan, dan kapasitas untuk mengendalikan (controle) proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Mereka terus berada di barisan
anti-negara, di luar sistem, di luar struktur. Urusan demokrasi bagaimanapun
masih dipahami oleh para aktivis sebagai urusan pergantian rezim, padahal
agenda demokratisasi memerlukan energi lebih besar untuk rekonstruksi negara
dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Affan
Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Asri,
Tapa M, 2009.Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Makassar: Universitas
Veteran Republik Indonesia
http://aditya87.wordpress.com/2008/09/14/kegagalan-demokrasi-indonesia/ http://jurnalhipotesis.blogspot.com/2009/12/perjalanan-demokrasi-di-indonesia.html
[1] Kandidat Sarjana
Muda Jurusan SKI Konsentrasi Ilmu Politik (2010) Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah
Palembang
[2]
http://www.demosindonesia.org/dinamika-lokal/bpd/3731-kegagalan-demokrasi-elitis-di-indonesia.htm(di Unduduh pd tanggal 26 Des 2012
17:00)
[4] Affan Gaffar,
Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000.Hal : 34
[5] Ibid hal: 42
[6] http://www.edisukarman.com/2012/06/makalah-pancasila-demokrasi-indonesia.html(diunduh tgl 27 Des 2012 15 :00)
[7] Ibid
[8]
http://husainnur.wordpress.com/2011/04/04/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia/(Diunduh
tgl 27 Des 2012 17 :45)
[9] http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2011/08/cita-cita-demokrasi.html
(diunduh
Tgl 27 Desember 2012 19:00 )
[10] Ibid. http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/2011/08/cita-cita-demokrasi.html
(diunduh
Tgl 27 Desember 2012 19:00 )
[11] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar