Sabtu, 26 Januari 2013

aktor pro demokrasi



Aktor-Aktor Pro Demokrasi :
Kegagalan Demokrasi Oleh Elit di Indonesia
Oleh :
Muslim Kosashie Takeda[1]
Abstrak
            Sejak Pemilu 1999, secara formal Indonesia telah menempuh rute demokrasi dalam perjalanan politiknya sebagai bangsa menuju masa depan dimana, semua hak asasi dari semua dimajukan dan dilindungi. Jika rute ini bisa ditempuh dengan sukses, Indonesia akan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi jika pilihan untuk menempuh demokrasi ini gagal, maka kegagalannya akan menjadi kegagalan keempat dalam pengalaman sejarahnya sejak 1945.[2] Seperti diketahui, kegagalan pertama terjadi pada 1959 ketika demokrasi liberal diganti menjadi demokrasi terpimpin. Kegagalan kedua terjadi pada 1965/66 dengan dimusnahkannya gerakan kiri dan demokrasi kerakyatannya. Dan kegagalan ketiga adalah pupusnya upaya-upaya kelas menengah liberal pada awal 1970an untuk meliberalisasi politik Orde Baru yang diikuti oleh pelembagaan sistem politik otoritarian hingga 1998.[3]
            Pengalaman selama lima tahun terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata demokrasi liberal pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah kritis yang dihadapi bangsa, bahkan cenderung mengidap potensi-potensi kegagalan: Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki liberal.
Kata Kunci : Kegagalan Demokrasi.dan Aktor Pro Demokrasi.
            Since the 1999 elections, Indonesia has formally democratic route in his political journey as a nation towards a future where, all rights of all promoted and protected.
If this route can be reached successfully, Indonesia will become the third largest democracy in the world after the U.S. and India, the largest Muslim country in the world. But if the choice to pursue democracy fails, the failure will be the failure of the fourth in the history of experience since 1945. As is known, the first failure occurred in 1959 when democracy replaced a liberal democracy. The second failure occurred in 1965/66 with his destroyed left movement and its popular democracy. And the third is the failure of his efforts dashed liberal middle classes in the early 1970s to liberalize the New Order politics followed by the institutionalization of the authoritarian political system until 1998.
Keyword : failure of democracy .and Actor Pro Democracy.
Latar Belakang
            Berbicara mengenai demokrasi sendiri memang tak kunjung habis untuk dibahas. Mulai dari yang pro maupun yang kontra. Ada yang berpendapat bahwa sistem demokrasi di Indonesia sudah on the track dan tinggal menyempurnakan. Ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa demokrasi di Indonesia telah gagal karena tidak mampu menghadirkan kesejahteraan dan keadilan-keadilan. Secara definisi demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.[4] Maksud dari mewujudkan kedaulatan rakyat sendiri yaitu melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Karena, dalam demokrasi keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah.  Namun, sebenarnya demokrasi tidak sesederhana itu. Demokrasi harus dipahami dari dua dimensi,yaitu:dimensi normatif dan dimensi empirik.Dimensi pertama mengajarkan kepada kita apa yang seharusnya secara idiil dari demokrasi. “Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat,” kata Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, benarkah demikian? Kenyataannya, selama 32 tahun di bawah pemerintahan Orde Baru, jauh panggang dari api. Rakyat hanya dijadikan pemanis dalam kehidupan politik agar segala sesuatunya nampak indah.[5] Sementara itu, dimensi empirik demokrasi memperlihatkan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik sebuah negara, bagaimana bentuk normatif-idiil tersebut diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedaulatan rakyat diwujudkan dengan pemilihan umum yang bebas dan persaingan antara partai politik berjalan secara wajar. Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pemberian peluang bagi semua warga negara untuk menduduki jabatab politik. Kedaulatan rakyat memberi kesempatan yang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk ikut berbicara, memberikan penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau pemerintah. Kedaulatan rakyat juga diwujudkan dalam kehidupan di mana rakyat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Mereka boleh berbicara tentang apa saja, bukannya dibungkam. Mereka dapat menikmati media massa yang bebas menulis dan menyiarkan apa saja sepanjang tidak menghina, memfitnah, dan mengadu domba masyarakat. Dan rakyat dapat setiap waktu berkumpul kemudian mendirikan organisasi apapun, apakah itu organisasi sosial, ekonomi, keagamaan, atau politik. Akhirnya, kedaulatan rakyat diwujudkan dalamkehidupan di mana rakyat bebas dari rasa takut.
Indikasi Kegagalan  Penerapan Demokrasi di Indonesia
            Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).[6] Penetapan paham demokrasi sebagai tataan pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebahagian terbesarnya pernah mengecap pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropah Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropah Barat dan Amerika Serikat.
            Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara 1950 (UUDS 1950) Indonesia mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal), yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.Guna mengatasi konflik yang berpotensi mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi Terpimpin yang diklaim sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya. Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada tanggal 30 September 1965, dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden RI pada tanggal 11 Maret 1968.[7]
            Presiden Soeharto yang menggantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang tidak stabil dan krisis disegala aspeknya.Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD 1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru. Amandemen UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya, dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde Baru.Model Demokrasi pasca Reformasi (atau untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai Demokrasi Reformasi, karena memang belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun terakhir ini, nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama, yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.Apalagi sekarang diera kemajuan sains dan teknologi Indonesia nampak tengah dilanda berbagai masalah yang begitu kompleks. Sistem demokrasi yang seyogyanya menghasilkan masyarakat yang bebas dan sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang akan apa yang diharapkan sebelumnya.
            Berikut ini adalah beberapa fenomena kegagalan demokrasi di Indonesia.[8]
            Pertama, Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakannya. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini membuat posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan.Namun, di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan presiden. Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
            Kedua, Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru di tengah kebebasan demokrasi. Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi, yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah kesejahteraan. Demokrasi atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat. Begitu pula dengan kebebasan dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan.
            Ketiga, Tidak berjalannya fungsi partai politik. Fungsi partai politik paling tidak ada tiga: penyalur aspirasi rakyat, pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan sarana pendidikan politik masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya tidak berjalan.Partai politik lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi rakyat.Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten dengan ideologinya. Partai politik sebagai sarana pendidikan politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara dari masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
            Keempat, Ketidakstabilan kepemimpinan nasional. Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini mualai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan value.
            Kelima, Birokrasi yang politis, KKN, dan berbelit-belit. Birokrasi semasa orde baru sangat politis. Setiap PNS itu Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS itu Golkar. Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi kebijakan. Jika birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada partai lain. Aknibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana. Leibih parahnya, ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali ada pergantian kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk stabilitas pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan ketidak percayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi karena adanya kapitalisasi birokrasi.Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
            Keenam, Banyaknya ancaman separatisme. Misalnya Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak dari dianaktirikannya daerah-daerah tersebut semasa orde baru, yang tentunya adalah kesalahan pemerintah dalam “mengurus anak”. Tentunya ini membuat ketahanan nasional Indonesia menjadi lemah, mudah diadu domba, terkurasnya energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi kepentingan asing.
            Konsep Demokrasi Seperti yang kita ketahui bahwa demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
            Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut. Lalu kalau kita melihat bentuk demokrasi dalam struktur pemerintahan kita dari level negara, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan hampir dapat dipastikan di level ini hanya proses pembuatan kebijakan sementara kalau kita mencari demokrasi yang berupa ciri khas yang dapat mewakili bahwa negara kita mempunyai diri demokrasi tersendiri itu dapat dilihat di level desa. Bagaimana seperti ditulis almarhum Moh. Hatta bahwa,”Di desa-desa sistem yang demokrasi masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat istiadat yang hakiki.” Dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang yang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama. Struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan demokrasi asli yang berlaku di desa. Gambaran dari tulisan almarhum ini tidak lain dari pola-pola demokrasi tradisional yang dilambangkan oleh musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong royong dalam pelaksanaan keputusannya tersebut. (Prijono Tjiptoherijanto dan Yomiko M. Prijono, 1983 hal 17-19). Dari gambaran di atas, kami rasa hal ini pula yang menginspirasi demokrasi pancasila yang selalu menjadi Kiblat negara kita dalam menapaki kehidupan berbangsa dan bernegara masih perlu ditelaah atau dikaji secara lebih dalam lagi. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dihayati oleh bangsa dan negara Indonesia yang dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila yang tidak mungkin terlepas dari rasa kekeluargaan. Akan tetapi yang menjadi pandangan kita sekarang. Mengapa negara ini seperti mengalami sebuah kesulitan besar dalam melahirkan demokrasi. Banyak para ahli berpendapat bahwa demokrasi pancasila itu merupakan salah satu demokrasi yang mampu menjawab tantangan jaman karena semua kehidupan berkaitan erat dengan nilai luhur Pancasila. Dalam hal ini kita ambil saja salah satu ahli Nasional Prof. Dardji Darmodihardjo, S.H. beliau mempunyai Pandangan bahwa demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang terwujudnya seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD 1945. lain hal lagi dengan Prof. dr. Drs. Notonegoro,S.H. mengatakan demokrasi pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berke-Tuhan-nan Yang Maha Esa, yang Berkepribadian Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mempersatukan Indonesia dan yang berkedaulatan seluruh rakyat.
            Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
            Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).

Peran Aktor Pro Demokrasi (Antara Harapan Dan Tantangan)
           
            Kekuatan reformasi di Indonesia sesungguhnya mencita-citakan sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan terkadang sangat biasa. Demokrasi, diibaratkannya seperti pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan diambil bukanlah terbaik. Pemilihan demokratis menjadi keharusan bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk menggantikan politisi di bawah performa dengan alternatif lain sesuai pilihan warganegara.

            Kekuatan reformasi mendorong pengembangan demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian masyarakat madani sangat dibutuhkan untuk merealisasikan kedaulatan massa rakyat, bukan sekedar retorik in abstracto sebagaimana dikatakan seorang akademisi politik terkenal Gaetano Mosca. Secara umum peran Parpol itu bagaikan “intermediate-structure”, sebagai perantara antara masyarakat politik dan negara. Karena itu, jika kader Parpol terpilih sebagai anggota legislatif, maka seharusnya mereka memperjuangkan agenda-agenda kepentingan atau harapan konstituen/pemilihnya.[9] Proses pengangkatan pemimpin Parpol dalam perspektif demokrasi harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda. Pemimpin Parpol harus memberi pertanggungjawaban dalam pemilihan demokratis, dan jika mereka kalah dalam pemilihan mereka akan kehilangan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara oleh sistem bekerja secara rasional, nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok ada di dalamnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat berdaulat meletakkan kedaulatan dalam bentuk Negara. Demokrasi menjadikan negara sebagai kumpulan daulat rakyat dalam realitasnya terwujud bagian-bagian atau organ-organ kelembagaan Negara. Untuk itu, politik kepartaian harus didorong menjadi lebih kompetitif, ditandai jarak ideologi di antara Parpol dalam kehidupan kepartaian. Kompetisi antar Parpol harus konsisten di berbagai arena politik baik Pemilu maupun pemerintahan sehingga terdapat tautan elektoral (hubungan pemilihan) di antara Parpol sebelum Pemilu dan Pasca Pemilu. Kaitan antara ideologi, pola koalisi, pola oposisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi menjadi lebih bermakna. Sebagai pilar demokrasi, Parpol haruslah terlebih dahulu menata dirinya berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi antara lain partisipasi, kesetaraan (non diskriminatif), keterbukaan (transparansi), pertanggung jawaban publik (akuntabilitas publik), supremasi hukum (taat hukum), efisien dan effektif, dll. Parpol dapat berperan sebagai pilar demokrasi bagi kehidupan masyarakat madani, pemerintahan dan juga dunia usaha manakala tata pengelolaan Parpol itu sendiri sungguh-sungguh berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud.
UUD 1945 telah menjamin penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dalam kehidupan demokarasi, peran, fungsi dan tanggungjawab Parpol dituntut berkembang secara konstitusional. Parpol sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh. Seluruh harta bumi dan kekayaan alam negara Indonesia mutlak milik pemegang kekuasaan dimaksud, yakni rakyat. Rakyat harus menyadari hak-haknya mengontrol bagi kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara Indonesia.Dasar filosofis dan konstitusional prinsip kedaulatan rakyat ini sesungguhnya telah tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Setiap warganegara Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. UUD 1945 mengharuskan sistem negara terbentuk berdasarkan “kedaulatan rakyat”. UUD 1945 mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk menjamin rakyat menyalurkan aspirasi politik kepada lembaga-lembaga Negara, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Parpol harus berfungsi untuk menyalurkan aspirasi politik sebagai manifestasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, Parpol dalam hubungannya dengan Negara (khususnya legislatif dan eksekutif) tidak boleh hanya mewakili konstituen atau anggota semata, tetapi harus berfungsi sebagai sarana aspirasi politik rakyat keseluruhan. Untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat dan meningkatkan kehidupan demokrasi, Parpol perlu melakukan pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik rakyat melalui Parpol diharapkan dapat membangun karakter bangsa merupakan watak atau keperibadian bangsa Indonesia terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat rendah. Hal ini bisa menjadi bencana bagi demokrasi mengingat Parpol berfungsi sesungguhnya sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka.

            Salah satu karya akademis menunjukkan ketidakpercayaan atas peran dan fungsi Parpol di Indonesia dapat ditemukan pada Mahrus Irsyam dan Lili Romli (Eds), Menggugat Partai Politik (Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia, 2003). Di dalam karya ini terdapat tulisan Tim dengan pertanyaan utama: sudah sampai sejauh manakah relevansi antara teori dan konsep tentang Parpol dan system kepartaian dengan realitas system kepartaian beserta Parpolnya di Indonesia selama ini? Pertanyaan ini diajukan sekitar tahun 2003, suatu situasi Indonesia baru memasuki era demokratisasi dari otoriterianisme. Para penulis karya ini antara lain Arbi Sanit, Mahrus Irsyam, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sahrul Hidayat dan Ibnu Hamad.[10]
Di dalam karya ini, Lili Romli mengajukan judul tulisan: “Potret Buram Partai Politik di Indonesia”. Menurut Lili, Parpol ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri, tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal , ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dll. Semuanya itu, lanjut Lili, tampak tidak dihiraukan oleh parpol. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, hal itu hanya tinggal janji saja tanpa buki nyata. Maka tidak heran apabila rakyat kemudian pesimis dan kecewa terhadap Parpol. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “obyek” pengatasnamaan rakyat. Padahal semuanya “pepesan kosong”, yang ada adalah kepentingan golongan atau Parpol, dari kekuasaan, jabatan sampai pada uang. Terdapat kekecawaan rakyat terhadap Parpol. Untuk menjustifikasi penilaian kritis di atas`, Lili lalu menyajikan hasil riset dikeluarkan Forum Keadilan (No. 52, 14 April 2002). Penilaian kritis Lili atas keberadaan Parpol dalam awal era reformasi ini juga diperkuat dengan hasil riset Kompas (lihat Tabel 2.) menunjukkan bahwa Parpol melalui kader di DPR lebih mengutamakan kepentingan peribadi dan Parpol ketimbang kepentingan rakyat. Rata-rata lebih 55 % responden berpendapat, DPR lebih berkomitmen terhadap kepentingan peribadi dan Parpol, bukan kepentingan rakyat. Dengan perkataan lain, kepentingan peribadi dan kepentingan Parpol diutamakan sedangkan kepentingan rakyat diabaikan.[11] Di samping hasil riset Kompas ini, Lili juga menunjukkan contoh nyata, yakni kegagalan membentuk Pansus Buloggate II, di mana sebagian besar wakil rakyat menolak dan abstain, suatu sikap yang menyakiti hati rakyat. Intinya, Lili menilai, Parpol tumbuh dalam era reformasi ini belum melaksanakan fungsi dengan baik.
           
            Sebagaimana digelombangkan kaum kelas menengah perkotaan dan mahasiswa tergabung dalam kekuatan reformasi, dalam era reformasi Parpol harus berperanan sebagai pelaku dan pejuang cita-cita demokrasi Tetapi, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di kehidupan sehari-hari. Penilaian semacam ini dapat dipertegas dengan hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010 dengan 781 responden 17 tahun keatas di 57 kota Indonesia. Terdapat 58,9 % responden tidak puas tentang Parpol memperjuangkan demokratisasi, dan hanya 35,1 % puas. Jajak Pendapat juga mengungkapkan, lebih dari separoh (54 %) responden mengamati bahwa selama ini tidak ada aktivitas organisasi berarti dari Parpol-parpol di wilayah mereka. Sebagian besar responden tdiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas Parpol seperti dalam hal perekruitan (penempatan) anggota, pendidikan politik, penggalangan dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari.
Gerakan reformasi pro-demokrasi sama sekali belum terealisir dan tidak pernah disinggung oleh kaum politisi Parpol. Gerakan demokrasi hanya dijadikan “lipstik” untuk meraih dukungan politik. Para aktor pro-demokrasi masih terus berjuang dari posisi „terpinggirkan“ (marginal). Kalangan aktor pro-demokrasi dan tokoh organisasi non pemerintah (Ornop) mempercayai bahwa perjuangan demokrasi harus melalui Parpol ternyata juga gagal total. Mereka baru menyadari bahwa politik kepartaian hanya menggunakan massa rakyat untuk mendapatkan dukungan bagi kepentingan kekuasaan sesaat dengan mengandalkan pola hubungan „politik uang“ atau „transaksional“ dan juga politik „pencitraan“, sebuah pola pernah mereka kritik dan tolak sebelumnya. Sebagian aktivis pro-demokrasi baik di Ornop maupun Kampus, tatkala berada di dalam Parpol seakan telah melupakan cita-cita demokrasi dan disibukkan pada pertikaian internal Parpol, mencari sumber pendanaan ilegal serta jabatan di permerintahan.

            Kalangan pro demokrasi sungguh-sungguh mempercayai bahwa untuk pencapaian kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, demokrasi sebagai suatu metode tepat dan merupakan keharusan atau keniscayaan. Kepercayaan ini telah mendorong kekuatan reformasi pro demokrasi sejak tahun 70-an bergerak dan berjuang menentang struktur kekuasaan otoriter ciptaan rezim Soeharto (Orde Baru). Keberhasilan kekuatan reformasi meruntuhkan kekuatan Orde Baru memberi peluang untuk merealisasikan kepercayaan akan demokrasi sebagai metode, hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah Parpol dan kualitas Pemilu lebih jujur dan adil (jurdil). Namun, Parpol sebagai aktor atau pilar demokrasi tidak merupakan realitas obyektif, bahkan sebaliknya menjadi kekuatan anti demokrasi dan pro korupsi sehingga bertentangan dengan fungsi Parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Acapkali Parpol dinilai sebagai sarana bukan penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat, melainkan aspirasi atau kepentingan politik elite dan kelompok Parpol dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. Parpol juga dinilai tidak melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa sadar, pendidikan politik berlangsung justru mendorong kader-kader berperilaku korupsi baik di lembaga legislatif maupun ekekutif sebagai perilaku anti demokrasi dan pro korupsi.

Penutup
            Seperti yang dipaparkan dalam penjelasan diatas bahwa Pengalaman selama beberapa tahun terakhir ini memperlihatkan beberapa gejala bahwa ternyata demokrasi liberal pasca reformasi tidak berhasil menanggulangi masalah-masalah kritis yang dihadapi bangsa ini, malah bahkan cenderung mengidap potensi-potensi kegagalan yang mana seperti yang kita dapat lihat sekarang :
1.      Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi yang dulu merebutnya dari Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis – untuk tidak menyebutnya oligarki liberal;
2.      Korupsi terus tidak tertanggulangi, bahkan makin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal yang pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan sentralistis yang berada di Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik.
3.      Depolitisasi masyarakat sipil masih terus berlangsung dengan menguatnya suasana anti-politik yang terus meluas. Partisipasi memang tumbuh subur, tetapi perluasan partisipasi tampaknya tidak berbanding lurus dengan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan yang memungkinkan rakyat banyak menikmati sumber-sumber daya politik dan ekonomi.
            Dari sekian keganjalan yang dijelaskan pada poin tersebut dirasa Kegagalan demokrasi tampaknya juga disebabkan karena faktor lain, yakni diantaranya karena  para aktor pro-demokrasi tidak cukup punya akses, kemauan, dan kapasitas untuk mengendalikan (controle) proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Mereka terus berada di barisan anti-negara, di luar sistem, di luar struktur. Urusan demokrasi bagaimanapun masih dipahami oleh para aktivis sebagai urusan pergantian rezim, padahal agenda demokratisasi memerlukan energi lebih besar untuk rekonstruksi negara dan masyarakat.
Daftar Pustaka

Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Asri, Tapa M, 2009.Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Makassar: Universitas Veteran Republik Indonesia



































           










[1] Kandidat Sarjana Muda Jurusan SKI Konsentrasi Ilmu Politik (2010)  Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang
[3] Ibid http://www.demosindonesia.org/dinamika-lokal/bpd
[4] Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.Hal : 34
[5] Ibid hal: 42
[7] Ibid
[11] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar